![]() |
Ilustrasi |
Jejak Panas di Malam Api Unggun, Kisah di Balik Liputan KMD Pramuka Wonogiri 2025
Wonogiri, Jumat malam 27 Juni 2025 -Langit malam itu bertabur bintang, udara pegunungan Umbul Nogo Manyaran begitu sejuk menusuk kulit. Suara riang para pembina Pramuka yang sedang bersiap mengikuti malam api unggun begitu menggugah semangat. Sebagai jurnalis dan penyiar, saya datang untuk meliput momen penuh makna dari rangkaian Kursus Mahir Dasar (KMD) Pramuka Wonogiri 2025.
Namun siapa sangka, malam yang seharusnya penuh kehangatan itu menjadi kisah perjalanan yang tak akan pernah saya lupakan bukan hanya karena kobaran api unggun, tetapi karena rasa panas yang menyengat di kaki saya.
Semua bermula ketika saya bergerak mendekati barisan peserta untuk mengambil gambar dan merekam suasana dari dekat. Di tengah keramaian, saya merasa ada sesuatu menggigit bagian bawah pergelangan kaki. Awalnya saya kira hanya gigitan nyamuk biasa, tapi tak lama kemudian rasa panas menyebar, seperti terbakar dari dalam kulit. Kaki saya seperti terbakar api yang tak kasat mata.
Dengan tertatih, saya mencari petugas kesehatan. Rasa nyeri semakin hebat, membuat langkah terasa berat. Saya hanya bisa berharap bahwa ini bukanlah sesuatu yang serius.
Petugas kesehatan dengan sigap memberi obat pereda nyeri, menyemprotkan cairan anti-nyeri, dan mengoleskan salep khusus agar bengkaknya tidak memburuk. “Kemungkinan digigit serangga atau semacamnya, Mas,” ucap salah satu petugas sambil terus memastikan kondisi saya.
Tapi malam itu tak seperti biasanya. Saya terus merasakan panas menjalar ke sekujur kaki bagian bawah. Meskipun liputan tetap saya selesaikan dengan semangat yang tertahan-tahan oleh rasa nyeri, hati saya berusaha kuat. Saya tahu, setiap tugas jurnalistik kadang membawa risiko yang tak terduga dan malam ini saya mengalaminya secara nyata.
Saat pulang ke rumah, tubuh terasa lelah luar biasa, tapi panas di kaki jauh lebih membakar daripada kelelahan itu sendiri. Saya tidak bisa tidur. Saya hanya bisa berbaring, memejamkan mata yang tak benar-benar bisa tertidur, berharap nyeri ini segera reda.
Dan pagi pun tiba.
Matahari belum sepenuhnya muncul ketika saya menyadari sesuatu yang begitu saya syukuri rasa panas mulai mereda. Meski belum sepenuhnya hilang, setidaknya rasa sakitnya sudah tidak seintens malam tadi. Saya menarik napas panjang, mengucap syukur Alhamdulillah, pagi ini lebih baik.
Perjalanan ini meninggalkan jejak yang bukan hanya luka di kulit, tapi juga kesan mendalam dalam jiwa. Di balik sorotan kamera dan catatan liputan, ada sisi lain dari profesi ini yang sering kali tak terlihat perjuangan dalam diam, ketabahan saat terluka, dan keyakinan bahwa setiap pengalaman, meski pahit, akan memperkaya jiwa.
Dan bagi saya, Jumat malam itu bukan sekadar malam api unggun. Ia adalah malam ujian dan keteguhan hati, saat seorang jurnalis harus tetap berdiri meski panas membakar kaki, demi menyampaikan kisah kepada para pembaca dan pemirsa. (Sofyan)