Menyemai Harapan di Kepuhsari, Catatan Perjalanan dari Balik Pelatihan Leadership, Public Speaking Branding Produk Lokal
Oleh: Sofyan Yuli Antonius
Selasa, 8 Juli 2025. Pagi itu, sinar matahari menyapu hangat perbukitan Manyaran. Desa Kepuhsari terlihat begitu bersahaja namun penuh harapan. Sebagai seorang narasumber, saya datang bukan hanya untuk berbagi ilmu, tapi juga menyerap semangat dari wajah-wajah yang antusias ingin berubah, ingin maju, ingin dikenal dunia lewat produk lokalnya.
Saya mendapat kehormatan menjadi pembicara di hari pertama pelatihan “Branding dan Marketing Produk Lokal” yang digelar oleh Kementerian Sosial RI melalui BBPPKS Yogyakarta. Tema yang saya bawakan adalah "Leadership dan Public Speaking untuk Branding Produk Lokal."
Di dalam ruangan pelatihan yang sederhana namun hangat, saya melihat ibu-ibu dan bapak-bapak yang menjalankan usaha dibidang perajin wayang, peternak kambing, pemuda pengelola kelompok wisata, hingga pelaku UMKM kuliner duduk menyimak, sesekali mencatat, sesekali mengangguk pelan. Bagi saya, ini bukan sekadar pelatihan. Ini adalah momentum kebangkitan.
Saya mulai dengan sebuah pertanyaan, “Siapa pemimpin di desa ini?” Hampir semua peserta spontan menunjuk kepala desa. Saya senyum, lalu melanjutkan, “Boleh saya koreksi? Pemimpin di desa ini adalah Bapak dan Ibu semua. Karena yang memegang keputusan untuk bangkit atau diam, itu ada di tangan kita masing-masing.”
Kepemimpinan, saya jelaskan, bukan tentang jabatan, tapi tentang pengaruh dan tindakan. Seorang ibu yang memilih memasarkan kerajinan bambunya secara digital, itu adalah pemimpin. Seorang peternak yang memutuskan untuk membuat branding “Sapi Kepuhsari”, itu adalah pemimpin.
Lalu saya masuk ke materi public speaking. Banyak peserta tertawa kecil saat saya ajak praktik berbicara di depan. “Ngomong saja masih malu, apalagi promosi,” celetuk seorang ibu sambil tertawa. Tapi itulah tantangan terbesar. Branding produk lokal dimulai dari keberanian berbicara tentang produk kita sendiri.
Saya katakan pada mereka, “Jika kita tidak bisa menyampaikan keunggulan produk kita dengan percaya diri, bagaimana orang bisa percaya?” Saya ajarkan teknik vokal dasar, gestur, hingga bagaimana menyampaikan cerita produk dengan gaya narasi. Salah satu bapak bahkan mencoba memperkenalkan “Wisata Kepuhsari” di depan peserta. Terdengar polos, tapi penuh semangat. Dan di situlah saya tahu, prosesnya mulai berjalan.
Sebelum pelatihan digelar, saya menyimak sambutan-sambutan dari para tokoh. Pak Suminto, selaku ketua pelaksana, dengan jujur menyampaikan betapa pelatihan ini adalah tindak lanjut serius dari program nasional pengentasan kemiskinan ekstrem. Ada harapan besar yang disematkan pada desa ini.
Bu Lestari dari Dinas Sosial menyebut bahwa program ini akan jadi ujian nyata, apakah warga desa mampu bangkit bukan hanya dari keterbatasan ekonomi, tapi juga dari kemiskinan cara berpikir?
Pak Camat Toto Tri Mulyarto pun memberi semangat yang menyentuh: “Ternyata ternak sapi pun bisa menjadi brand desa.” Sementara Pak Kades Sularjo mengajak warganya bersatu hati “Desa kita tidak boleh hanya menunggu bantuan. Kita harus mandiri, kita harus bergerak.”
Hari pertama ini hanya awal. Masih ada tiga hari pelatihan ke depan dengan materi yang lebih teknis: desain branding, pemasaran digital, manajemen usaha. Tapi saya yakin, pondasi penting sudah mulai dibangun hari ini: kesadaran, keberanian, dan kemauan untuk berubah.
Sebagai narasumber, saya belajar bahwa berbicara di depan orang desa bukan berarti harus merendahkan standar, tapi justru menaikkan martabat mereka sebagai pelaku perubahan. Saya tidak merasa sedang mengajar, tapi sedang berbagi semangat yang sudah lama ada dan hanya butuh disentuh agar menyala kembali.
Kepuhsari bukan hanya nama sebuah desa di pinggir perbukitan Wonogiri. Kepuhsari adalah cermin banyak desa di Indonesia yang punya potensi luar biasa, tapi tertutup kabut ketidakpercayaan diri. Dan pelatihan ini adalah secercah cahaya yang mulai menembus kabut itu.
Saya pulang hari itu dengan hati yang penuh. Penuh rasa syukur, bahwa saya bisa ikut sedikit saja menyumbang semangat. Bahwa lewat suara, kata, dan cerita saya ikut menemani perjalanan panjang warga desa untuk berani tampil dan menyuarakan keunggulan mereka sendiri.
"Karena perubahan tidak akan pernah datang dari luar, jika dari dalam kita tidak pernah percaya bahwa kita layak untuk maju."